Mimpi Muhlis Eso Membangun Museum Koleksi PD II di Morotai

Pasukan Sekutu pergi dari Morotai meninggalkan besi tua. Oleh Muhlis, besi-besi tua itu dikoleksi untuk sebuah museum mandiri.

Muhlis Eso adalah orang nomor satu yang harus dicari oleh para peneliti atau pencinta sejarah jika hendak menelusuri jejak Perang Dunia II di Morotai, salah satu pulau paling utara di Maluku. Beberapa media nasional pernah mengangkat kisahnya.

Di luar Morotai, terutama penikmat sejarah perang, orang lebih mengenal Muhlis Eso ketimbang Bupati Morotai. Laki-laki yang di Facebook mengaku sebagai pemandu wisata dan siap seharian memandu wisata sejarah Morotai ini punya kegilaannya sendiri sedari kecil. Sejak umur 10 tahun ia sudah berburu. Bukan berburu babi hutan pengganggu ladang, melainkan besi tua peninggalan Perang Dunia II. Satu kali ia bahkan pernah tersesat di hutan dekat kampungnya, Totodoku-Joubela. Muhlis baru ditemukan ayahnya saat jam 9 malam. Ketika Muhlis ditemukan, karung berisi artefak-artefak masih ditentengnya.

Itu semua karena kampung Muhlis termasuk daerah pendaratan pasukan Sekutu. Banyak peralatan perang milik Sekutu terangkut. Tak heran jika beberapa tahun belakangan, Muhlis Eso dengan peralatannya yang sederhana masih menemukan besi-besi tua, setelah tujuh dekade PD II berlalu.

Sepanjang perburuannya, Muhlis mengumpulkan banyak artefak seperti tempat minum, botol minuman Coca-Cola, botol obat-obatan, tempat makan, sendok, selongsong peluru, hingga senapan mesin. Sebagian dari temuan itu sudah tersaji di sebuah museum partikel di Morotai. Jumlahnya ratusan. Menurut perhitungannya, di sekitar kampung dia, masih ada sekitar 25 persen yang belum terangkat. Besi-besi tua yang tertinggal di Morotai itu berupa senjata api, peluru, mobil Jeep, tank amfibi, tempat minum, helm baja, sampai pesawat terbang.

Besi-besi tua itu ada yang tertimbun di dalam tanah serta di bawah lautan. Pesawat terbang buatan Inggris bahkan menjadi penghias karang di kedalaman laut di Morotai.

Barang-barang peninggalan PD II di Museum Swadaya Moratai. tirto/Petrik

Tak heran jika Suhario Padmodiwiryo dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, Volume 1 (1995: 381) menulis bahwa Pulau Morotai “mendapat perhatian strategi militer … karena ada rongsokan raksasa berupa besi tua dari bermacam material perang yang ditinggalkan Jepang dan tentara Jenderal Douglas MacArthur sesudah Perang Dunia Kedua.”

Satu kali seorang pedagang keturunan Tionghoa dari Jakarta datang menghadap Letnan Kolonel Warouw, dengan membawa surat keterangan dari Kantor Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan.

“Dalam surat itu ia diperkenankan untuk mengambil seluruh rongsokan di Morotai. Ia meminta izin untuk menumpuk besi tua di pelabuhan Manado untuk kemudian diekspor,” tulis Padmodiwiryo.

Muhlis Eso termasuk orang yang tidak suka besi-besi jejak PD II itu dijual. Ia tahu, jika hal ini dibiarkan, semua peninggalan sejarah—yang kini jadi bagian sejarah orang Morotai—akan hilang.

“Banyak sekali peninggalan yang berserakan. Tapi kenapa cuma dijual, dijual, dijual? Saya berpikir nanti ke depan akan habis,” kata Muhlis saat saya menemuinya di Morotai pada 9 April 2018.

Muhlis punya keinginan besar agar sejarah PD II di Morotai dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Ada kengerian perang di sana. Jadi tidak cuma disinggung sepintas lalu.

Morotai menjadi batu pijakan bagi bagi kemenangan Jenderal Douglas MacArthur dan armadanya dalam PD II, yang menduduki Filipina lalu membuat Jepang menyerah pada 1945. Tetapi bagi Muhlis, ada hal yang lebih penting lagi, “Karena Morotai juga bagian dari sejarah Indonesia.”

Membangun Museum PD II Berbekal Swadaya

Soal jual-menjual besi tua, Muhlis Eso ingat pada sosok Herlina Kasim, si Pending Emas, sukarelawati yang terjun dalam Operasi Trikora ke Irian Barat. Herlina begitu dimuliakan dalam sejarah Indonesia.

Muhlis ingat ketika masih kecil, jumlah besi-besi tua berupa kendaraan perang melebihi yang ada sekarang. Tumpukan mobil tak terpakai peninggalan Sekutu terhampar di salah satu kebun kelapa. Ada Jeep Willys, mobil Chevrolet, panser, dan tank amfibi. Sebagai bocah, Muhlis bermain-main di atas Jeep atau di atas panser. Ia juga menemukan puing-puing pesawat dan kapal.

Dulu, kata Muhlis, baling-baling pesawat berserakan di pohon kelapa. Belakangan, besi-besi tua itu diangkut.

“Serpihan-serpihan seperti mobil yang ada, yang masih utuh, semua dibawa oleh Ibu Herlina. Dibawa ke Surabaya dan dilebur,” kata Muhlis. Puing-puing besi tua dari peralatan tempur itu dibawa ke Surabaya selama 1980-an dan 1990-an.

Sebelum Herlina, menurut catatan Phill Manuel Sulu dalam Permesta: jejak-jejak pengembaraan (1997), Laurens Saerang bermain besi tua Morotai. “Laurens. F. Saerang … dikenal sebagai konglomerat yang dijuluki Raja Besi Tua. Pria ganteng asal Langowan ini menjadi kaya-raya setelah sukses menjadi pedagang rongsokan peralatan Perang Dunia II di Pulau Morotai,” tulis Sulu.

Tak sekadar menyayangkan penjualan besi tua peninggalan PD II, Muhlis terobsesi membuat lagi museum PD II. Ia berkata sudah ikut membuat lima museum. “Saya rencana menjadikan tujuh museum. Walaupun dengan gubuk. Kenapa? Agar bisa seperti Landasan Pitu. Karena jumlah landasan Pitu ada tujuh,” ujar Muhlis.

Salah satu sudut koleksi peninggalan PD II di Moratai yang dikumpulkan Muhlis Eso di museumnya. tirto/Petrik

Kegilaannya pada besi tua terpelihara kuat. Meski punya banyak keterbatasan, upayanya jalan terus. Kini, di rumahnya yang masih dibangun, di tengah-tengah kebun kelapa di tepi Jalan Amerika, Desa Tubela, Morotai Selatan, ia tengah merintis satu lagi museum. Laki-laki yang mengaku lebih suka bekerja independen ketimbang jadi PNS ini menamai koleksinya “Museum Swadaya Perang Dunia II – Hilang Nampak Kembali.”

Koleksi yang dirintisnya itu tak jauh beda dari museum-museum lain di Morotai. Baik di Museum Perang Dunia II di dekat pelabuhan dan sebuah museum di monumen Trikora.

Muhlis tak terlalu berharap kepada negara dan selama ini ia banyak dibantu oleh kawan-kawannya di luar Morotai. Penghasilannya didapatkan dari kebun kelapa warisan keluarga dan itu tak akan mampu membeli segala kelengkapan di museum. Rupanya orang seperti Muhlis menolak menjadi Superman yang bisa semuanya. Ia masih jujur dengan keterbatasannya dalam mengejar impian membangun museum.

Source: tirto| Reporter: Petrik Matanasi Penulis: Petrik Matanasi Editor: Fahri Salam

Mapping 2019-nCoV

By Lauren Gardner, January 23, 2020

Reference: Dong E, Du H, Gardner L. An interactive web-based dashboard to track COVID-19 in real time. Lancet Infect Dis; published online Feb 19.

Background


On December 31, 2019, the World Health Organization (WHO) was informed of an outbreak of “pneumonia of unknown cause” detected in Wuhan City, Hubei Province, China – the seventh-largest city in China with 11 million residents.

As of January 23, there are over 800 cases of 2019-nCoV confirmed globally, including cases in at least 20 regions in China and nine countries/territories.

The first reported infected individuals, some of whom showed symptoms as early as December 8, were discovered to be among stallholders from the Wuhan South China Seafood Market. Subsequently, the wet market was closed on Jan 1.

The virus causing the outbreak was quickly determined to be a novel coronavirus. On January 10, gene sequencing further determined it to be the new Wuhan coronavirus, namely 2019-nCoV, a betacoronavirus, related to the Middle Eastern Respiratory Syndrome virus (MERS-CoV) and the Severe Acute Respiratory Syndrome virus (SARSCoV). However, the mortality and transmissibility of 2019-nCoV are still unknown, and likely to vary from those of the prior referenced coronaviruses.

Infected travelers (primarily air) are known to be responsible for introductions of the virus outside Wuhan. On Jan 13 Thailand reported the first international case outside China, while the first cases within China, but outside of Wuhan were reported on January 19, in Guangdong and Beijing.

On January 21 multiple provinces in China were also reporting new cases and infection was confirmed in 15 healthcare workers, with six fatalities reported.

Additional travel cases have now been confirmed in Hong Kong, Macau, Singapore and Vietnam.

On Jan 22, a WHO emergency committee convened to discuss whether the outbreak should be classified as a public health emergency of international concern (PHEIC) under International Health Regulations, but were initially undecided due to lack of information, before deciding against the declaration.

Of immediate concern is the risk of further transmission resulting from high travel volumes and mass gatherings in celebration of the Chinese New Year on January 24. In attempts to mitigate local transmission within China, unprecedented outbreak control strategies were implemented in (initially) three cities.

On 23 January 2020, Wuhan suspended all public transport and air travel (in and out of the city), placing all 11 million city residents under quarantine. On Jan 24, Huanggang and Ezhou, cities adjacent to Wuhan, will also be placed under a similar quarantine, with more cities in China now following suit. Further, many cities have canceled Chinese New Year celebrations.

As Wuhan is a major air transportation hub in central China, various measures have been taken on a global scale to mitigate international spread. Targeted airport screening of passengers traveling from Wuhan was initiated as early as January 1 in Hong Kong and Macau.

Taiwan, Singapore and Thailand starting to screen arriving passengers on January 3. In the U.S., the CDC began entry screening of passengers on direct and connecting flights from Wuhan to the three main ports of entry on January 17, 2020, with Atlanta and Chicago soon to be added.

On January 23 the U.S. CDC raised its travel notice for Wuhan, China, to the highest of three levels. Additional Pacific and Asian countries including Malaysia, Sri Lanka, Bangladesh and India are now also conducting targeted passenger screening at airports.

GIS Dashboard (Updated February 11, 2020)


In response to this ongoing public health emergency, we developed an interactive web-based dashboard (static snapshot shown above) hosted by the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University, to visualize and track reported cases in real-time.

The dashboard, first shared publicly on January 22, illustrates the location and number of confirmed COVID-19 cases, deaths and recoveries for all affected countries. It was developed to provide researchers, public health authorities and the general public with a user-friendly tool to track the outbreak as it unfolds.

Further, all the data collected and displayed is made freely available, initially as google sheets, now in a GitHub repository, along with the feature layers of the dashboard, which are now included in the ESRI Living Atlas.

The dashboard reports cases at the province level in China, city level in the US, Australia and Canada, and at the country level otherwise. From January 22-31 the entire data collection and processing was managed manually. During this period the number of updates were typically conducted twice a day, both morning and night (Eastern Time).

As the outbreak evolved, the manual reporting process became unsustainable, and on February 1, we adopted a semi-automated living data stream strategy.

Our primary data source is DXY, an online platform run by members of the Chinese medical community, which aggregates local media and government reports to provide COVID-19 cumulative case totals in near real-time at the province level in China and country level otherwise.

Every 15 minutes, the cumulative case counts are updated from DXY for all provinces in China and affected countries and regions. For countries and regions outside mainland China (including Hong Kong, Macau and Taiwan), we found DXY cumulative case counts to frequently lag other sources; we therefore manually update these case numbers throughout the day when new cases are identified.

To identify new cases, we monitor various twitter feeds, online news services, and direct communication sent through the dashboard. Before manually updating the dashboard, we confirm the case numbers using regional and local health departments, namely the China CDC (CCDC), Hong Kong Department of Health, Macau Government, Taiwan CDC, European CDC (ECDC), the World Health Organization (WHO), as well as city and state level health authorities.

For city level case reports in the U.S., Australia, and Canada, which we began reporting on February 1, we rely on the US CDC, Government of Canada, Australia Government Department of Health and various state or territory health authorities. All manual updates (outside mainland China) are coordinated by a team at JHU.

We are currently in the process of conducting additional modeling of this emerging outbreak, and will update this blog post with the results soon.