Carlos Ferrandiz, menemukan cinta di Hu’u


Inspirasional People – Carlos Ferrandiz dari Barcelona, Spanyol.


harapan-project---sumbawa-indonesia_owler_20160302_030724_original


1502182055_carlos-ferrandiz-hl_1502181675

Profesinya sebagai pengacara bergaji besar tak lantas membuatnya bahagia. Ia justru memilih jalur kemanusiaan, dengan mendirikan Harapan Project.


Pantai Lakey, di selatan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, menjadi tujuan utama Carlos Ferrandiz beberapa tahun lalu. Pantai ini kerap menjadi tujuan para wisatawan mancanegara karena keindahan pantainya.

Banyak peselancar juga menantang dirinya untuk menaklukkan ombak Pantai Lakey yang terbilang unik karena bergerak dari arah kiri. Karena itu, banyak yang menyebutnya pantai dengan ombak kidal.

Keindahan dan keunikan itu berbaur dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Carlos melihat banyak warga yang membuka lapak dagangan di pinggir pantai. Anak-anak kecil tampak berbaur dengan para turis asing.

Ia lalu tergerak untuk pergi ke Desa Hu’u yang dekat dengan Pantai Lakey. Di sana, Carlos berkunjung ke tiga dusun: Ncangga, Hu’u, dan Nangadaro. Kemiskinan menjadi pemandangan umum di tiga dusun itu.

Di Ncangga terdapat banyak rumah kumuh dan hanya terdapat dua toilet umum. Di Hu’u pemukiman warga lebih renggang dibanding dusun lainnya. Sementara, di Nangadoro, berada di ujung selatan Kabupaten Dompu, penduduknya lebih padat.

Peristiwa pada 2005 lalu itu masih tertanam dalam ingatan Carlos. Banyak anak di sana tidak sekolah. Fasilitas kesehatan dan pendidikan pun minim. Kondisi itu bagai bumi dan langit dengan pulau pertama yang ia kunjungi saat datang ke Indonesia, yaitu Bali.

“Saya kaget melihat perbedaan dua pulau itu,” tulis Carlos dalam surat elektronik yang ia kirimkan ke Beritagar.id pada Senin (31/07/2017).

Tapi uniknya, menurut dia, anak-anak tampak bahagia dengan kondisi serba terbatas itu. Ada yang tak punya pakaian, apalagi mainan. Kalau sakit, mereka tak punya biaya untuk ke dokter. “Tak peduli bagaimana pun hidupnya, mereka selalu tersenyum,” kata pria lajang berusia 37 tahun ini.

Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan di negara asalnya, Spanyol. Banyak anak di selatan Benua Eropa itu punya mainan dan baju terbaik. Mereka punya akses pendidikan dan kesehatan gratis. Tapi nyatanya, mereka tak merasa bahagia, malah kurang senyum.

Dari rasa prihatin melihat kemiskinan di Hu’u, Carlos akhirnya memutuskan mengabdikan dirinya untuk mengubah kondisi masyarakat di sana melalui pendidikan dan kesehatan. “Saya memutuskan hidup saya harus bisa mengubah orang-orang ini. Begitulah Harapan Project lahir,” ujarnya.

2366x1577_493da74997c0c40d4da0cfcb46e19455caa5a07b-600

Anak-anak di Desa Hu’u, Dompu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat sedang bermain bola.© Harapan Project /Harapan Project

Mengajar dengan gembira

Beritagar.id pada akhir bulan lalu berkunjung ke tiga dusun, tempat Carlos mengabdikan dirinya. Kami kemudian mendatangi kamar nomor tujuh Hotel Balumba yang menjadi Kantor Harapan Project.

Di kamar seluas lima kali enam meter itu, Carlos menjalankan aktivitasnya dalam membantu warga Desa Hu’u di bidang kesehatan dan pendidikan. Di kamar itu pula Carlos kadang mengajak anak-anak desa untuk belajar.

Namun, karena takut para tamu merasa terganggu, Carlos tak lagi menggunakan kamar itu untuk belajar. Ia memutuskan menggunakan fasilitas sekolah di sekitar Desa Hu’u. Setiap jam 14.00 WITA, Carlos menjemput anak-anak ke sekolahnya memakai mobil yang ia beli di Bali. Jam belajar ini akan berakhir pada 18.00 WITA.

Awalnya, ia hanya mengajarkan bahasa Inggris. Anak-anak yang datang tampak antusias mengikuti pelajaran. Mereka bahkan mengajak orang-orang di Desa Hu’u. “Dari anak-anak sampai orang tua akhirnya ikut belajar,” kata Carlos.

Saking senangnya belajar, Carlos sampai harus melerai anak-anaknya yang kerap berkelahi untuk dapat duduk paling depan. Kepala Dusun Nangandoro, Samsul, mengatakan hal serupa. “Anak-anak merasa senang dengan Carlos. Kalau ia datang, mereka langsung mengerubunginya dan bermain bersama,” ujar Samsul.

Carlos pun tergerak untuk mengajarkan anak-anak itu hal lainnya. Mata pelajarannya bertambah. Matematika, geografi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni juga ia ajarkan kepada muridnya. Setelah pelajaran, ia mengajak anak-anak bermain voli, sepak bola, berselancar, dan bulu tangkis.

Namun, apa yang ia lakukan saat ini bukanlah tanpa tantangan. Menurut Carlos, anak-anak di Hu’u tak terbiasa dididik. Mereka mudah hilang konsentrasi dan merasa lelah ketika belajar. Di rumah, anak-anak juga tak pernah membuka buku. Perkembangan pendidikan mereka pun cenderung lambat.

Selain tantangan dari diri anak-anak, para orang tua pun tak menciptakan kondisi belajar-mengajar yang kondusif. Mereka lebih senang melihat anaknya bekerja di ladang pada sore hari. Mereka juga berpikir tak akan mampu membiayai anaknya sampai kuliah, jadi lebih baik mengajarkan soal menanam jagung dan budidaya rumput laut.

“Saya sangat mengerti ketidakpercayaan mereka terhadap pendidikan, karena orang tuanya pasti tidak mampu membiayai pendidikan anaknya,” ujar Carlos.

Dari tantangan yang dihadapi di lapangan, Carlos berinisiatif akan memulai program baru di bidang pertanian. Hal tersebut rencannya dilakukan untuk mengajar masyarakat lokal cara mengembangkan produksi pertaniannya.

“Saya ingin mengajarkan warga lokal bagaimana caranya mengambil susu dari hewan dan menghasilkan keju dan yogurt,” katanya.

1366x456_bc44ebaab3f8eae921a7a908b013dcf4f6b584e3 (1)-600

Carlos Ferrandiz saat mengajar di kelas (foto kiri) dan berolah raga dengan anak-anak di Desa Hu’u, Dompu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (foto tengah) beberapa waktu lalu. Arian Ahmad (18) menunjukkan bekas operasi di lengan kirinya (foto kanan).© Harapan Project (foto kiri dan tengah), Junaidin (foto kanan) /Harapan Project, Beritagar-id

Membantu kesehatan 1.400 anak

Selain di bidang pendidikan, Carlos juga mengabdikan diri di bidang kesehatan. Saat kami tiba di Dusun Ncungi, Ramlah (32) menyambut kami dengan semangat sembari menceritakan aktivitas Carlos dalam membantu pengobatan anak-anak dan ibu-ibu yang melahirkan.

Tak lama setelah itu, Ramlah memanggil seorang anak bernama Arian Ahmad (18). Ia menceritakan, bahwa Arian Ahmad pernah dibawa ke rumah sakit Sanglah Bali oleh Carlos.

Pada saat itu tangan Arian patah akibat jatuh dari pohon. Arian pun dioperasi. Selama proses pengobatan selama beberapa minggu, keluarga Arian tak menguarkan biaya apa pun.

“Saya menolong semua anak sakit di wilayah Huu, saat ini berjumlah sekitar 1.400 orang,” kata Carlos. Jika rumah sakit di Dompu tidak bisa menangani, Carlos akan membawa anak-anak yang sakit ke Bali.

Selama delapan tahun tinggal di Indonesia, ia mengaku sudah membayar lebih dari 120 operasi. Jumlah tersebut di luar dari warga yang penyakitnya ringan. “Saya juga menangani kampanye kesehatan, seperti program malaria dan isu kebersihan,” ujarnya..

2366x1614_3920f828af6b79cd741ff1fe06aabac94b579f1f-600

Carlos Ferrandiz (kanan) saat mengajar murid-murid di Desa Hu’u. Dompu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu.© Harapan Project /Harapan Project


Saya hanya mengembalikan apa yang saya terima dari orang Indonesia.

Carlos Ferrandiz


Ia mengakui sampai hari ini belum bisa mengumpulkan dana yang cukup untuk membiayai semua program Harapan Project. Jumlah rata-rata yang ia keluarkan untuk menjalankan keseluruhan program per tahun tidak kurang dari Rp300 juta, belum termasuk anak-anak yang membutuhkan operasi medis.

Carlos biasanya mencari uang ketika kembali ke Spanyol pada Juli sampai Desember. Namun, itu pun tak mudah karena ia seorang diri mengerjakan semuanya.

Hanya cinta yang bisa membawa Anda kepada kebahagiaan. Dan inilah yang saya temukan di Hu’u,” katanya.

190118817_640

Bermula dari keluarga

Orang tua Carlos mendidiknya untuk selalu menolong orang lain. Sejak berumur enam tahun, ia punya kegiatan rutin mengunjungi orang-orang yang terkena gangguan mental dan psikis.

Didikan orang tua yang selalu ia ingat adalah untuk selalu mengapresiasi hidup dengan cara membantu orang yang membutuhkan. Karena itu, ia tergerak untuk menggagas misi kemanusiaan.

Padahal, kehidupan Carlos di Spanyol cukup mapan. Ia bekerja sebagai pengacara di kantor akuntan publik yang bergengsi, PriceWaterHouse Coopers. Gajinya besar. Tapi itu tak memuaskan hidupnya. Ia malah merasa tak memiliki apa-apa.

“Saya hanya membantu orang kaya menyelesaikan pekerjaan mereka,” begitu ia menggambarkan profesinya.

Dari perjalanan hidup itu, Carlos memutuskan ke Bali hingga berjalan-jalan di Sumbawa. Sejak itu, ia merasa Indonesia adalah negara terindah di dunia. Ia merasa nyaman dan bahagia bersama orang-orang di sini.

“Mungkin ada negara yang lebih indah, tapi saya berbicara tentang warganya. Orang Indonesia luar biasa, saya selalu senang diajak ke rumah mereka dan diberi sepiring makanan,” ujar Carlos.

Menurutnya, orang Indonesia tidak peduli seberapa miskin dirinya, tapi selalu senang berbagi apa pun yang mereka miliki. Ia merasa dicintai oleh warga. Baginya, tidak ada gaji di dunia yang bisa membayar itu.

“Saya selalu mengatakan bahwa saya hanya mengembalikan apa yang saya terima dari orang Indonesia,” katanya.

Source: Britagar

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.